Tantangan KAI dalam Menghadirkan Kereta Berkecepatan 160 Km per Jam

OTOMAGZ-Wacana bahwa KAI Siapkan Inovasi Kereta Cepat dengan Kecepatan Hingga 160 Km/Jam telah menumbuhkan optimisme besar akan
perjalanan antarkota yang jauh lebih singkat. Namun, di balik visi ambisius
tersebut, terbentang serangkaian tantangan teknis, operasional, dan sosial yang
sangat kompleks.
Ini bukanlah sekadar mengganti lokomotif, melainkan
sebuah proyek perombakan fundamental yang berbeda dengan membangun jalur baru
seperti Kereta Cepat Whoosh. KAI harus "mempermak" jalur-jalur yang
sudah beroperasi puluhan tahun dan terlanjur menyatu dengan pemukiman padat,
sebuah pekerjaan raksasa yang membutuhkan investasi, waktu, dan ketelitian luar
biasa.

Tantangan Infrastruktur: Pekerjaan Rumah Terberat
Tantangan paling fundamental dan mahal terletak pada
infrastruktur rel atau track itu sendiri. Jalur kereta api di Indonesia,
terutama di Pulau Jawa, dibangun dengan geometri yang disesuaikan untuk
kecepatan 80-120 km/jam.
- Geometri Jalur yang Menantang:
Karakteristik geografi Pulau Jawa yang berbukit dan padat penduduk membuat
jalur rel yang ada memiliki banyak tikungan tajam. Pada kecepatan 160
km/jam, tikungan-tikungan ini sangat berbahaya. Untuk mengatasinya, KAI
harus melakukan pelurusan jalur atau realignment, yang berarti
membangun jalur baru di beberapa titik untuk "memperhalus"
tikungan. Proses ini melibatkan pembebasan lahan yang tidak mudah dan
biaya konstruksi yang masif.
- Kualitas Rel dan Bantalan:
Untuk menahan getaran dan beban pada kecepatan tinggi, spesifikasi rel
harus ditingkatkan, misalnya menggunakan tipe rel yang lebih berat seperti
R60. Selain itu, seluruh bantalan kayu harus diganti total dengan bantalan
beton yang lebih kokoh dan stabil.
- Sterilisasi Jalur dan Perlintasan Sebidang:
Ini mungkin tantangan paling pelik di Indonesia. Kecepatan 160 km/jam
menuntut kondisi jalur yang mutlak steril dari aktivitas manusia atau
hewan. Yang paling krusial adalah eliminasi total ribuan perlintasan
sebidang. Setiap perlintasan harus ditutup dan digantikan dengan flyover
atau underpass. Ini bukan hanya tantangan teknis pembangunan,
tetapi juga tantangan sosial yang besar karena akan mengubah alur
mobilitas warga sekitar.

Adaptasi Teknologi dan Armada yang Rumit
Setelah jalur siap, tantangan berikutnya adalah pada
sistem yang berjalan di atasnya. Kamu tidak bisa menjalankan kereta super cepat
dengan teknologi yang ada saat ini.
- Revolusi Sistem Persinyalan:
Sistem persinyalan blok mekanik atau elektrik yang saat ini digunakan
(sinyal lampu di pinggir rel) tidak lagi memadai. Pada kecepatan 160
km/jam, masinis tidak memiliki cukup waktu untuk bereaksi terhadap sinyal
visual. KAI harus bermigrasi ke sistem persinyalan digital berbasis cab-signal
seperti ETCS (European Train Control System), di mana informasi sinyal dan
batas kecepatan dikirim real-time langsung ke panel kontrol
masinis. Ini adalah inti dari Teknologi Baru di Balik Rencana KAI Tingkatkan Kecepatan Kereta yang paling krusial untuk keselamatan.
- Elektrifikasi Jalur:
Meskipun kereta diesel bertenaga tinggi ada, untuk efisiensi, akselerasi,
dan tenaga yang konsisten pada kecepatan tinggi, elektrifikasi jalur
adalah pilihan terbaik. Ini berarti KAI harus membangun jaringan Listrik
Aliran Atas (LAA) beserta ratusan gardu induk di sepanjang koridor utama.
Ini adalah proyek infrastruktur besar lainnya di atas proyek peningkatan
jalur.
- Armada (Rolling Stock) Generasi Baru:
KAI tidak bisa menggunakan armada kereta eksekutif yang ada saat ini.
Dibutuhkan armada baru, kemungkinan besar berjenis Kereta Rel Listrik
(KRL) antarkota atau Electric Multiple Unit (EMU) yang dirancang
khusus untuk kecepatan tinggi, lengkap dengan desain aerodinamis, sistem
pengereman canggih, dan teknologi peredam getaran yang mumpuni.

Tantangan Finansial dan Sosial
Pada akhirnya, semua tantangan teknis di atas bermuara
pada dua hal: biaya dan manusia.
Biaya untuk melakukan semua peningkatan ini mulai dari
pembebasan lahan, pembangunan flyover/underpass, penggantian rel,
elektrifikasi, hingga pembelian armada baru akan sangat besar, membutuhkan
skema pendanaan jangka panjang yang matang, baik dari APBN maupun investasi.
Secara sosial, mengubah kebiasaan masyarakat untuk
tidak lagi beraktivitas di sekitar rel dan tidak menerobos perlintasan adalah
tantangan budaya yang sama beratnya dengan tantangan teknik. Tanpa kesadaran
dan disiplin masyarakat, jalur secepat apa pun tidak akan pernah aman.
Meskipun daftar tantangannya panjang dan berat, KAI harus tetap melangkah maju. Sebab, jika berhasil diwujudkan, Dampak Sosial dan Ekonomi dari Peningkatan Kecepatan Kereta KAI akan sangat sepadan, mengubah wajah mobilitas dan perekonomian Indonesia di masa depan.
Sumber gambar: Canva
Penulis: Gelar Hanum (hnm)

