Dampak Hadirnya Kereta Whoosh terhadap Moda Transportasi Lain

OTOMAGZ-Koridor Jakarta-Bandung adalah salah satu rute
komersial tersibuk di Indonesia. Selama puluhan tahun, rute ini didominasi oleh
tiga pemain utama mobil pribadi via Tol Cipularang, layanan shuttle travel
yang menjamur, dan Kereta Api Argo Parahyangan. Kini, panggung persaingan itu
kedatangan pemain baru yang mengubah segalanya. Kehadiran "Whoosh"
adalah lebih dari sekadar penambahan opsi ia adalah disrupsi.
Sebagai bagian dari Kereta Whoosh dan Revolusi Transportasi Cepat di Indonesia, layanan dengan kecepatan 350 km/jam ini
secara drastis memangkas waktu tempuh menjadi hanya 45 menit. Efisiensi waktu
yang ekstrem ini sontak memaksa semua moda transportasi lain untuk mengevaluasi
ulang posisi dan strategi mereka. Dampaknya pun mulai terasa, menciptakan
sebuah ekosistem transportasi baru di rute legendaris ini.

Argo Parahyangan: Akhir dari
Sebuah Era
Dampak paling langsung dan dramatis dirasakan oleh
"saudara tuanya" sendiri, Kereta Api Argo Parahyangan. Selama
bertahun-tahun, Argo Parahyangan adalah pilihan favorit bagi mereka yang
mencari kenyamanan dan anti-macet, meskipun dengan waktu tempuh rata-rata 3
jam.
Namun, kehadiran Whoosh yang juga berada di bawah
naungan BUMN KAI, menciptakan sebuah kanibalisasi yang tak terhindarkan. Sulit
bagi penumpang untuk membenarkan perjalanan 3 jam ketika ada opsi 45 menit,
meskipun Whoosh menuntut biaya tambahan untuk first mile dan last
mile (perjalanan dari dan ke stasiun).
Secara strategis, KAI akhirnya mengambil keputusan
besar dengan menghentikan operasional "Gopar" untuk fokus
memaksimalkan okupansi Whoosh. Ini adalah dampak paling konkret: satu moda
transportasi legendaris harus berakhir untuk memberi jalan bagi teknologi yang
lebih superior.
Shuttle Travel: Pertarungan
Kenyamanan Lawan Kecepatan
Pemain kedua yang paling terpukul adalah industri
shuttle travel. Layanan shuttle (seperti XTrans, Baraya, Cipaganti, dan
lainnya) telah lama menjadi raja di rute ini. Kekuatan utama mereka adalah
layanan point-to-point yang luar biasa. Kamu bisa naik dari pul di pusat
kota Jakarta dan turun langsung di pul di pusat kota Bandung, tanpa perlu
berganti moda.
Whoosh tidak memiliki kemewahan ini. Stasiunnya (Halim
di Jakarta, Padalarang atau Tegalluar di Bandung) membutuhkan upaya ekstra
untuk dijangkau. Di sinilah letak pertarungannya. Para operator shuttle kini
"dipaksa" untuk bersaing dengan mengandalkan kenyamanan,
keberangkatan yang sangat sering (setiap 30 menit), dan harga yang lebih
kompetitif. Mereka kini menyasar segmen pasar yang tidak mau repot
berganti-ganti angkutan atau yang sensitif terhadap harga. Meski begitu,
pergeseran penumpang, terutama dari kalangan pebisnis yang mengejar waktu,
tidak bisa dihindari. Okupansi shuttle di jam-jam produktif jelas merasakan
dampaknya.

Mobil Pribadi: Hitung Ulang Biaya
Efisiensi vs Fleksibilitas
Bagi pengguna mobil pribadi, Tol Cipularang adalah
"jalur sutra" mereka. Alasan utama orang memilih membawa kendaraan
sendiri adalah fleksibilitas—bisa berhenti kapan saja, membawa banyak barang,
dan mobilitas penuh setibanya di kota tujuan. Namun, fleksibilitas ini harus
dibayar mahal dengan ketidakpastian: kemacetan.
Kehadiran Whoosh memberikan alternatif bagi segmen
ini. Seorang profesional yang harus menghadiri rapat penting di Bandung kini
bisa berpikir ulang. Apakah lebih baik mempertaruhkan 3-4 jam di tol yang tidak
pasti, atau menikmati 45 menit perjalanan pasti dengan Whoosh lalu menggunakan
taksi daring setibanya di tujuan? Ini semua adalah bagian dari Bagaimana
Kereta Whoosh Mengubah Gaya Hidup Para Komuter.
Meskipun demikian, mobil pribadi tidak akan mati.
Untuk perjalanan keluarga (4-5 orang), hitungan biaya tol, bensin, dan Whoosh
masih membuat mobil pribadi lebih hemat secara kolektif. Whoosh lebih menyasar
pada solo traveler, pebisnis, dan mereka yang sangat menghargai
prediktabilitas waktu.

Bus Antarkota: Tetap di Jalurnya
Sendiri
Bagaimana dengan bus antarkota? Moda ini memiliki
segmen pasar yang paling berbeda. Bus bersaing nyaris murni pada harga. Dengan
tarif yang jauh di bawah Whoosh maupun shuttle, bus adalah pilihan utama bagi
penumpang yang sangat sensitif terhadap biaya dan tidak terlalu
mempermasalahkan waktu tempuh.
Kehadiran Whoosh hampir tidak berdampak signifikan pada segmen ini. Pasar mereka jelas terpisah. Justru, yang menarik adalah bagaimana KAI sendiri mengatur strategi ini. Penghentian Argo Parahyangan dan peluncuran Whoosh adalah bagian dari KAI dan Strategi Besar di Balik Proyek Kereta Whoosh untuk melakukan segmentasi ulang pasar transportasi secara total, di mana KAI mengambil alih segmen premium (kecepatan) sementara moda lain harus beradaptasi di segmen kenyamanan atau biaya. Pada akhirnya, konsumenlah yang diuntungkan dengan hadirnya beragam pilihan ini.
Sumber gambar: Canva
Penulis: Gelar Hanum (hnm)

